Hukum Konsinyasi
Apa hukum konsinyasi?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Ada beberapa pendekatan untuk kasus konsinyasi di tempat kita. Dan kesimpulannya, semua boleh.
[1] Akad mudharabah
Dimana pemilik barang sebagai pemodal, dan orang yang menjualkan sebagai mudharib.
Akad ini tergambar seperti praktek berikut,
Si A pemilik toko buku. Di kota x sedang ada pameran buku. Lalu si B menawarkan diri menjualkan bukunya si A dengan sistem konsinyasi, dibayar sesuai yg laku, dan si B mendapat diskon 30% dari setiap buku yang laku. Sisa buku yang tidak laku, dikembalikan.
Dalam Posisi si A sebagai sohibul mal, sementara si B sebagai mudharib. Modal usaha yang dijalankan dalam bentuk buku.
Praktek semacam ini banyak dilakukan para sahabat. Menjalankan misi dagang untuk barang milik orang lain, kemudian bagi hasil atau diberi persenan sesuai jumlah yang laku.
[2] Wakalah bil ujrah
Posisi pemilik barang sebagai yang mewakilkan (al-Mukil), sementara penjual sebagai wakilnya. Selanjutnya mereka menetapkan adanya ujrah (upah) sesuai kesepakatan. Selanjutnya, akad yang berlangsung adalah akad ijarah.
Dalam wakalah bil ujrah, disyaratkan upah yang disepakati harus jelas.
Ibnu Qudamah mengatakan,
يشترط في عوض الإجارة كونه معلوما، لا نعلم في ذلك خلافاً
Upah ijarah disyaratkan harus jelas. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini. (al-Mughni, 5/327)
Bagaimana jika tidak disepakati atau belum disebutkan di awal akad?
Nilai upah bisa ditetapkan menyusul, mengacu pada nilai upah standar yang umumnya berlaku di masyarakat (ujrah mitls).
Dalam al-Fatawa al-Hindiyah dinyatakan,
وإن استأجر ليعمل له كذا ولم يذكر الأجر لزم أجر المثل بالغاً ما بلغ
Jika ada orang yang mempekerjakan orang lain, untuk melakukan tugas tertentu, namun belum menyebutkan upahnya, maka dia berhak mendapatkan upah standar, sesuai nilai kerjanya. (al-Fatawa al-Hindiyah, 4/446).
Untuk menerapkan ini, berarti posisi pemilik barang sebagai orang yang mewakilkan, sementar posisi penjual sebagai wakil. Wakil berhak mendapat upah tertentu. Misal: pasarkan 10 barang ini selama sebulan, laku berapapun, kamu saya kasih upah 1jt.
[3] Akad ju’alah
Jenis akad ketiga yang bisa dilakukan adalah akad ju’alah. Dimana posisi pembawa barang sebagai makelar (simsar), yang mendapat upah berdasarkan barang yang laku. Upah ini disebut al-Ju’l [الجُعْل].
Misalnya, saya titip jualkan 100exp buku ini dengan harga 35rb/buku. Jika laku, kamu dapat 30% perbuku, dan sisanya yang tidak laku dikembalikan. Transaksi semacam ini dibolehkan.
Imam Bukhari menyebutan beberapa keterangan ulama,
وَلَمْ يَرَ ابْنُ سِيرِينَ وَعَطَاءٌ وَإِبْرَاهِيمُ وَالْحَسَنُ بِأَجْرِ السِّمْسَارِ بَأْسًا
“Menurut Ibnu Sirin, Atha, Ibrahim an-Nakhai, dan Hasan al-Bashri, upah makelar itu dibolehkan.”
Ibnu Abbas mengatakan,
لا بَأْسَ أَنْ يَقُولَ : بِعْ هَذَا الثَّوْبَ فَمَا زَادَ عَلَى كَذَا وَكَذَا فَهُوَ لَكَ
Tidak masalah pemilik barang mengatakan, “Jualkan kain ini. Jika laku lebih dari sekian, selisihnya milik kamu.”
Ibnu Sirin juga mengatakan,
إِذَا قَالَ بِعْهُ بِكَذَا فَمَا كَانَ مِنْ رِبْحٍ فَهُوَ لَكَ ، أَوْ بَيْنِي وَبَيْنَكَ فَلَا بَأْسَ بِهِ
Tidak masalah jika pemilik barang mengatakan, “Jualkan dengan harga sekian. Nanti keuntungannya milik kamu. Atau keuntungannya kita bagi.” (Shahih Bukhari, 3/92).
Berdasarkan keterangan di atas, harga jual untuk makelar (orang yang memasarkan barang), ada 2:
1. Berdasarkan harga yang ditetapkan oleh pemilik barang. Dan posisi makelar berhak mendapat upah (fee) sesuai kesepakatan. Dalam hal ini, makelar tidak boleh menaikkan harga.
2. Diberi kebebasan untuk menetapkan harga sendiri, atas seizin pemilik barang. Dan makelar berhak mendapatkan keuntungan dari selisih antara harga jual dengan harga dari pemilik barang.
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/30869-hukum-jual-beli-konsinyasi.html